[CERPEN] Meraih Mimpi

Padahal masih sangat pagi, dan udara terasa dingin, seakan tak ijinkan aku untuk membuka selimut yang menutupi tubuh kurus ini.

Diluar sudah gaduh, terdengar suara ibu yang sedang sibuk di dapur, dan ayah yang sedang mengasah cangkul. Aku masih tidur dikamarku yg nyaman sebelum ibuku datang dan membangunkan ku dari mimpi-mimpi indah.

 "Na...ayo nak bangun...sebentar lagi kita berangkat ke kebun"

"sana cuci muka dan sarapan dulu ya..."

 Hmm...sebenarnya aku sudah malas disuruh bantu ibu di ladang terus, diluar disana begitu panas dan berdebu. Jika saja aku bukan penyabar, tapi ini memang sudah bakti ku pada orang tua, jadi aku terpaksa harus melakukan ini. Terkadang terfikir olehku apakah ibu dan bapak punya perasaan, apa dia mengerti dengan apa yang kumau, kenapa dia tak pernah memahami apa yang kucita-citakan?

Hidup sebagai anak petani miskin memang sulit, penuh keterbatasan dan kesulitan, tapi semoga ini menjadi pembelajaran bagiku untuk terus belajar dan berusaha. Dan semua kisah sedih ini aku tulis dalam banyak lembaran kertas yang kususun hingga menjadi buku yang tak pernah tamat. Aku merobah kepahitan di dunia nyata, sebagai loncatan untuk berfantasi di negeri dongen, menjadi rangkaian novel yang panjang. Menulis dan masuk ke dunia yang aku tulis adalah sebuah 'pelarian' bagiku!

Selalu ada kisah baru yang ditulis, dan sayangnya kebanyakan hanya ironi dan cerita kesedihan, ini menjadi puzzle yang hanya bisa ku selesaikan diatas kertas, karena kenyataan kadang terlalu keras untuk dihadapi.

Cita-cita ku ingin menjadi penulis, jadi perantara bagi suara-suara jeritan orang-orang disekitarku. Ingin ku beritahu kepada dunia kalau aku punya bakat dan impian yang suatu saat akan kubuktikan.

"itu hanya angan-angan ku saja, tapi aku yakin bisa mewujudkan mimpi ini suatu saat nanti"

Kembali ke dunia nyata yang keras dan penuh tekanan, dari jam 6 pagi sampai sekitar pukul 2 aku bantu orang tua di ladang. Sorenya sampai menjelang tidur aku biasa menulis, dan itupun tidak pakai perangkat komputer atau gadget canggih, secara manual aku hanya pakai kertas dan pensil saja untuk menulis.

Dibawah bayang-bayang cahaya lentera yang kuning, aku biasa semalaman asyik bermain dengan imajinasiku. Merangkai setiap huruf hingga menjadi kata, setiap kata kususun menjadi ratusan kalimat, lalu banyak halaman dan akhirnya tak terhitung sudah berapa ratus lembar kertas yang kuhabiskan oleh tulisan tangan ku.

Dua tahun lalu saat aku masih sekolah, bakatku dikenal baik dan menonjol diantara teman-teman, aku sering mendapat perhatian lebih dari guru-guru, hingga aku dipertemukan dengan seorang penulis ternama. Aku dan guruku berbincang sejenak dan aku mendapat banyak motivasi untuk terus menulis.

Namun, sebelum menginjak kelas 2 SMA. Aku harus putus sekolah karena bapak sudah tidak lagi mampu membiayai biaya sekolah ku setiap harinya. Niatku harua diurungkan untuk sekolah tinggi demi meraih cita-citaku.

Dan bapak terus meyakinkanku kalau sekolah bagi anak perempuan itu tidak penting, kalau akhirnya hanya jadi istri yang seharian terkurung dirumah mengurus rumah tangga saja.

Sekarang sudah dewasa, aku benar-benar sadar pentingnya pendidikan khususnya untuk memudahkan mencari kerja, dan selain itu ilmu yang lebih penting. Bagaimana aku bisa kalau tidak punya wawasan, bagaimana punya wawasan kalau tidak sekolah?

Akhirnya aku menjadi otodidak dan banyak belajar sendiri, menulis pun tanpa pernah ada arahan guru atau pembimbing semua kubuat hanya mengandalkan naluri dan bakat ku saja.

Ada tiga buku trilogi yang kutulis selama hampir setahun dan aku berniat untuk mencetak dan menawarkan nya kepada penerbit.

Ini adalah perjalanan panjang untuk menyelesaikan buku yang ketiga, yang bercerita tentang petualangan, persahabatan, nilai-nilai heroik dan perjuangan. Aku belum menemukan judul yang tepat untuk buku ini, tapi aku yakin jika suatu hari nanti, ketenaranan buku ini akan memawa harum namaku juga.

Setiap kata ditulis dengan kerja keras, karena dari dulu ibu dan bapak tidak pernah suka aku menghabiskan banyak waktu hanya untuk duduk dan menulis. Bapak lebih suka kalau aku main keluar dan berusaha cari calon suami yang bisa bantu-bantu keluarga. Ini konyol dan aku sama sekali belum berniat untu mencari pasangan hidup.

Dahulu ayahku pernah membakar sebagian kertas tulisan ku ke perapian. Dan aku tidak bisa berbuat apa-apa, apalagi melawan kecuali menangis...

Tapi itu masa lalu dan aku tidak boleh terjebak, sekarang sudah dewasa. Orang tua mulai sedikit mengerti dengan keinginanku. Mereka memberi ruang dan waktu juga persediaan alat tulis supaya aku terus berkarya sampai sukses.

Peraturan Berkomentar

  • Hindari berkomentar dengan menggunakan kata-kata kotor, Mengandung unsur SARA, pornografi berjualan dan sebagainya.
  • Usahakan berkomentar yang sesuai dengan isi topik.
  • Komentar yang menyertakan link hidup tidak akan ditampilkan dan akan dihapus oleh moderator.
  • Terima Kasih
First

0 Response to "[CERPEN] Meraih Mimpi"

Post a Comment