[CERPEN] MENEKUK SANGSAKA MERAH PUTIH

 Jalan poros di kampung kecil ini macet, aku tebangun dari lelap tidurku karena peluh yang telah menegerubuti tubuhku. Setelah mengusap-usap kelopak mata, kutanya pak kamsul yang duduk di sebelahku, ada apa Pak kok nampaknya macet. Iya nih, itu gerombolan orang-orang sedang menghela jalan. Kenapa tanyaku. Mereka berkumpul di sebuah rumah calon bupati hendak mengantarnya ke KPU kabupaten, sebab hari ini adalah pendaftaran terakhir yang telah di tentukan oleh lembaga peneyelenggara pemilu dan pimilukada itu.

Setelah kesadaranku utuh kembali, kotengok sisi kiri kanan jalan yang memang ternyata telah di kerubuti manusia yang entah dari mana asalnya. Bendera warna-warni dari berbagai partai pengusung memenuhi hampir semua sisi jalan seolah tak ada celah untuk melintasinya. Kerubutan orang-orang tak kalah serunya. Di samping kaos oblong seragam bergambar kandidat juga kendaraan yang mereka tumpangi berpoles warna-warni simbol dan tag line kedua kandidat yang mereka usung dan telah di sepakati bersama konsultan politiknya.

Hampir satu jam kami tertahan di terik mentari yang tak bersahabat. Belum jadi bupati sudah menyengsarakan rakyat paling tidak pelintas jalan ini, gerutu pak Kamsul yang di iyakansemua penumpang di mobil yang kami tumpangi. Keluhan dan gerutu kami pasti tak mereka dengar apatahlagi kandidat yang sibuk bersolek memperindah penampilannya sebab akan di sorot kamera dari berbagai sisi dan berbagai media massa, baik cetak maupun visual.

Pak Ronny yang duduk di kursi belakangku, nyeletuk sinis, wah.. kandidat bupati kan mantan narapidana, sepertinya belum cukup setahun dia meninggalkan terungku karena korupsi bermilyar-milyar yang ia lakukan kala baru dua tahun memimpin kabupaten ini pada priode lalu. Ckckck… apa yang mereka cari ya. Dan anehnya masih banyak juga yang dukung dia padahal sudah jelas-jelas dia penjahat berkera putih, penghianat bangsa karena menggerus uang negara dengan kuasanya walaupun jelas-jelas bukan haknya, jelas pak Ronny.

Aku tertegun mendengar penjelasan, pak Ronny. Akalku buntu tak mampu menerima realitas ini. penyakit apa yang melanda negeriku, kok sebegitu parahnya aturan main yang memayungi pelaksanaan demokrasi ini, sehingga yang terang benderang penjahat kemanusiaan kok masih di beri ruang sangat terbuka untuk mencalonkan dirinya sebagai pemimpin di seluruh strata kepemimpinan di negeri ini. Apakah ini bukan isayarat akan kehancuran sebuah negeri oleh ulah sebagian kaum cerdik pandainya. Batinku menyergap pikirku.

Dalam perjalanan sampai ketempat kerja, dialog-dialog kecil tapi seru masih hangat di dalam mobil yang kami tumpangi. Semua berpendapat termasuk sopir yang biasanya diam seribu basa bila kami mendiskusikan berbagai hal, temasuk soal-soal kerja yang kami rencanakan bersama strategi penanganan dan realitas yang kami temukan dalam perjalanannya. Namun kali ini tak ada yang diam semua angkat bicara seolah sebagai isyarat bila laku-laku dan system bobrok seperti ini harus ada jalan keluar ke ruang-ruang yang lebih berbudi dan memanusiakan, lebih memihak pada kepentingan orang banyak, memihak pada bangunan peradaban yang lebih beradab.

Program-program bea siswa dan pengobatan gratis banyak yang mengucur di masyarakat sekarang, pak. Anak saya dua orang yang kuliah tiba-tiba ketiban rezki nomplok juga dengan bea siswa dari kantor bupati ujar, Pak Lukman yang sedang asyik mengendara di belakang stir mobil. Empat pasang kandidat calon pemimpin kabupaten kami itu sedang rajin-rajinnya bertandang kekampung-kampung. Siapa saja yang mengundang dan perhelatan sekecil apapun mereka pasti berlomba hadir. Tanpa undangan tertulis bila hanya di undang secara verbal, pun mereka akan datang, luar biasa kan, ledek pak Lukman kemudian, sembari melempar senyum sinis.

Demikianlah fenomena demokrasi yang berkembang dan merealita di negeri ini. Laku-laku banal pun menjadi tontonan yang lumrah, setiap kekalahan akan di tebus dengan pembakaran, pemukulan, hingga pelenyapan nyawa sekalipun. Bangsa yang katanya santun dan beradab, oleh proses demokrasi tanpa bentuk mengantarnya menjadi bangsa yang sangat pragmatis. Kesetiaan hanya ada di lembar-lembar rupiah. Rasa empati dan persaudaraan raib di telan oleh rakus kekuasaan. Kedermawanan dan keramahan hanya kepura-puraan di ruang publik.

Pak Charles, ini hasil dari kemacetan yang membekap kita lama di jalan kemarin, sembari, pak Ronny menunjuk headline Koran pagi yang di bawahnya. Arak-arakan berutal kandidat bupati dan wakilnya di hadang di desa Guntur. Berita itu melansir, setelah merusak beberapa bendera partai dan posko kandidat lainnya, penduduk desa Guntur melakukan perlawanan yang sengit, beberapa dari kedua belah-pihak mengalami luka ringan dan berat walaupun tak ada korban kehilangan nyawa, namun para pejalan melintas sangat terganggu dengan kejadian ini.

Inilah fenomena demokrasi di negeri kita yang berkembang liar, kataku sembari mempersilahkan, Pak Ronny duduk. Silahkan mencicipi penganan ringan oleh-oleh dari Makassar, anggaplah ini masih suasana lebaran. Kami tersenyum dan kembali berbincang ringan. Padahal kata para pakar demokrasi dan politik. Bahwa, sesungghnya proses demokrasi yang di usung dan di pilih oleh sebuah bangsa dan negara dalam menata kehidupan berpolitiknya adalah dalam rangka mewujudkan sebuah tatanan masyarakat yang lebih terbuka dan bertanggung jawab. Tentu piranti ini tidak boleh berjalan sendiri tapi mesti di kawal dengan penegakan hukum yang berkeadlilan, dan semuanya berorientasi pada kemaslahatan bangsa.

Tengoklah ulah para politisi kita, sebagian besar orientasinya sangat pragmatis dan sangat instan. Berkisar pada kuasa dan uang, sehingga sangat berpengaruh pada sikap dan sepak-terjangnya. Demokrasi yang beradab, nasionalisme yang di dengung-dengungkan, santun dalam berpolitik, hanya elok di retorika tapi realitasnya sangat banal memenuhi tapak-tapak yang di lewatinya.

Suatu siang jelang tujuh belas agustus, sebagai hari keramat meraya dan merenungkan kembali arti kemerdekaan negeri tercinta ini. seorang lelaki sepuh, bertanya pada seorang muda yang juga kebetulan cucunya: Kelihatannya kamu sibuk sekali nak beberapa hari ini hingga terlihat di wajah dan tubuhmu sangat lelah. Iya kek, membantu kepala desa memperindah kampung ini dengan berbagai umbul-umbul dan pernak-pernik lainnya yang bernuansa merah putih, sebagai salah satu simbol keberadaan sebuah negeri dengan benderanya, jawab cucunya panjang-lebar.

Tapi saya melihat kamu juga sibuk dengan baliho sepasang kandidat, iya kek sebagian besar dari umbul-umbul merah putih yang aku pasang dengan teman-temanku di desa ini, duitnya dari kandidat itu. Bukankah dengan laku seperti itu juga sebagai pertanda bahwa beliau sangat nasionalis dan sangat mencintai negerinya, tukas Amir cucunya yang di kenal di kampung sebagai mahasiswa dari kota. Tapi kan baru dua tahun lalu dia bebas dari lembaga pemasyarakatan setelah pengadilan menvonisnya bersalah karena korupsi pengadaan alat-alat pertanian. Amir beranjak cepat membawa senyum kecut meninggalkan kakeknya.

Kakek tua itu nampak sedih dan membatin, betapa mereka memaknai kemerdekaan dan nasionalisme sebatas kain-kain tanpa jiwa memeluknya kuat. Bukankah dengan demikian sesungguhnya laku-laku seperti itu lambat-laun, entah sadar atau tak, mereka menekuk Sang saka merah putih itu ke pojok-kepojok keruntuhan negeri ini.

Peraturan Berkomentar

  • Hindari berkomentar dengan menggunakan kata-kata kotor, Mengandung unsur SARA, pornografi berjualan dan sebagainya.
  • Usahakan berkomentar yang sesuai dengan isi topik.
  • Komentar yang menyertakan link hidup tidak akan ditampilkan dan akan dihapus oleh moderator.
  • Terima Kasih
Previous
Next Post »

0 Response to "[CERPEN] MENEKUK SANGSAKA MERAH PUTIH"

Post a Comment